TEKS BERITA ASAL USUL KAMPUNG WARNA WARNI JODIPAN
ASAL USUL KAMPUNG WARNA WARNI
“JODIPAN”
(Dita Novita Sari / 3 multimedia C)
Kampung
Wisata Jodipan di Kota Malang, Jawa Timur atau yang dikenal sebagai Kampung
warna-warni yang dulu merupakan 'permukiman kumuh' sekarang menjadi lokasi yang
banyak dikunjungi wisatawan. Tiap akhir pekan diperkirakan jumlah pengunjung
yang datang mencapai ratusan orang, seperti diaporkan wartawan di Malang Jawa
Timur, Eko Widianto.Sejumlah pengunjung tampak berkeliling gang-gang sempit di
dalam kampung yang berada bantaran Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas,
sementara warga di sana tetap beraktivitas seperti biasa. Sesekali para
wisatawan mengambil foto suasana kampung ataupun 'selfie'.
Para
wisatawan itu, ada yang masuk ke dalam permukiman ataupun berfoto di atas
jembatan dengan latar belakang Kampung Jodipan.Salah seorang penunjung asal
Pasuruan, Rahayu mengaku kagum dan menyukai rumah bercat warna-warni. Dia
bersama temannya asyik berfoto dengan latar belakang dinding bergambar. “Indah
dan rapi, tak menyangka rumah ini ada di tepi sungai,” katanya.
Ketua RW 2
Kelurahan Jodipan, Soni Parin tak menyangka kampungnya yang dulu dikenal
sebagai permukiman kumuh menjadi obyek wisata alternatif.“Saya yang punya
kampung bingung sendiri, apa ya yang mereka lihat?. Ada orang Belanda dan
Australia juga yang ke sini,” kata Soni.Sekitar 107 rumah warga di sini tampak
dicat dengan 17 sarna, dengan gambar yang dilukis komunitas mural.Inisiatif
untuk mencat kampung ini muncul dari sejumlah mahasiswa mahasiswa Ilmu
Komunikasi Universitas Muhammaidyah Malang yang tergabung dalam kelompok
guyspro.
Koordinator
guyspro, Nabila Firdausiyah mengaku awalnya ingin mengubah perilaku warga di
bantaran sungai yang membuang sampah ke sungai, Jodipan dipilih lantaran
terlihat memiliki lanskap yang bagus dilihat dari jembatan Jalan Gatot
Subroto.“Kami melibatkan komunitas mural dan seniman untuk melukis dinding
rumah warga,” katanya. Dikerahkan sebanyak 30 tukang cat untuk mengubah wajah
kampung kumuh Jodipan. Dia mengaku tak menyangka Jodipan kemudian menjadi
tujuan wisata.
Awalnya
pengecatan kampung dilakukan agar rumah-rumah di sana tak terlihat 'kusam' dan
agar masyarakat memperhatikan masalah sanitasi. Usulan itu pun disampaikan
kepada Soni, yang kemudian meminta persetujuan dari tokoh masyarakat di kampung
tersebut.Pengecatan dilakukan oleh masyarakat dengan bantuan tentara dan juga
bantuan salah satu produsen cat di Malang pada Juni 2016.“Warga membantu secara
sukarela, ya membantu mengecat ada yang membantu konsumsi,” kata Soni.Kampung
ini mulai dikenal luas sejak fotonya dibagikan ke media sosial.
Masalah
sanitasi
Meski secara
fisik kondisi rumah warga di kampung ini sudah diperbaiki dan temboknya dicat
warna-warni, tetapi masalah utama di permukiman ini yaitu sanitasi belum dapat
teratasi pada awalnya.Soni mengatakan tak semua rumah memiliki toilet dan warga
sering membuang sampah di sungai. Tetapi rupanya, kedatangan para wisatawan
justru mengubah perilaku warga.
Sebuah
toilet umum digunakan warga secara bergantian. “Dulu membuang sampah ya ke
sungai, sekarang malu banyak orang datang masa perilakunya tetap,” kata
Soni.Sejumlah tempat sampah untuk menampung sampah warga dan pengunjung.
Sampah-sampah itu akan diangkut petugas kebersihan setiap hari.Biaya untuk
mengangkut sampah itu didapat dari 'tiket masuk' seharga RP2.000 per
pengunjung. Selain untuk sampah uang tersebut juga digunakan untuk perawatan
lingkungan.
Penataan
kampung ini disebut mirip dengan permukiman di pinggiran Kali Code
Yogyakarta.Selain kepedulian sanitasi meningkat, kunjungan wisatawan ke kampung
ini memberikan dampak terhadap perekonomian warga. Mereka pun berjualan minuman
dan makanan ringan, dan mengelola parkir kendaraan.
'Ancaman
digusur'
Kampung
Jodipan dihuni warga pendatang yang mendirikan rumah di tanah milik Negara
tersebut. Soni mengaku telah mendengar kampung ini terancam digusur dan warga
akan direlokasi ke rumah susun."Kami memang menempati tanah negara, tapi
setiap tahun tetap membayar pajak bumi dan bangunan," jelas Soni. "
Saya nyaman dan kerasan tinggal di kawasan bantaran sungai ini," tambah
dia.
Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimulyono sempat mengunjungi
kampung warna-warni 23 September 2016, dan memberikan toleransi bagi warga yang
tinggal di titik tertinggi di sekitar Daerah Aliran Sungai DAS Brantas.“Keras
tapi arif. Di perkotaan kita tak bisa hantam kromo dengan aturan. Bisa
ditoleransi, tapi bukan pembiaran,” katanya. Apalagi permukiman sudah tertata
dan tak lagi kumuh. Seperti perkampungan di bantaran Kali Code Yogyakarta yang
diprakarsai Romo Mangunwijaya, yang tertata rapi dan cantik.
Dia juga
mengatakan proses relokasi tak gampang dan membutuhkan waktu.Meski awalnya
kampung ini terancam akan digusur, tetapi sekarang Wali Kota Malang justru
menetapkan permukiman warga Jodipan dan Ksatrian di bantaran sungai Brantas
sebagai obyek wisata.Untuk memindahkan warga yang tinggal di pinggiran sungai,
Pemerintah Kota Malang telah membangun rusun sewa di Kelurahan Buring,
Kedungkandang, Kota Malang. Tetapi hingga kini dari dua blok baru terisi satu
blok yang diperuntukkan bagi 400 keluarga.
Pemerintah
Kota Malang mendata sebanyak 17 kawasan permukiman kumuh di Malang.
Diperkirakan sekitar 15 persen atau 31 ribu jiwa bermukim di bantaran
sungai.Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Malang luas permukiman
kumuh mencapai 603 hektar tersebar di 29 Kelurahan dari total 57 Kelurahan.
Penanganan
perkampungan kumuh, Pemerintah Kota Malang mendapat dana dari Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebesar Rp 30 miliar. Dana digunakan untuk
perbaikan sanitasi, penerangan jalan, drainase dan pasokan air minum.
Comments
Post a Comment